ANDA TELAH MEMASUKI AREA TERLARANG

hanya orang2 yang berimanlah yang bisa mengakses area ini. akan datang satu masa yang telah kita nantikan. masa dimana tidak ada penindasan dan penjajahan. masa yang akan dinantikan semua umat...

Selasa, November 27, 2007

budaya dan kelompok anti demokrasi menjadi ancaman

Oleh Tejo Priyono

Demokrasi yang merupakan hasil dari perjuangan panjang rakyat mendapat ancaman serius. Kecenderungan demokrasi saat ini tidak serta-merta membolehkan bentuk-bentuk progresif kebudayaan. Aksi massa dengan program nasionalisasi industri pertambangan, aktivitas-aktivitas politik Papernas terbukti menakutkan bagi kelas borjuis imperialis dan kompradornya di dalam negeri, hingga mereka perlu memberi ”proyek” pada Front Anti Komunis Indonesia (FAKI), FPI, FBR untuk merepresinya.

Juga teror-teror fisik (aksi kekerasan, teror, dan intimidasi) dan struktural (berupa Perda-Perda Syariat dan sebagainya) yang diarahkan pada kaum perempuan, diskriminasi terhadap hak-hak kaum lesbian-gay-biseksual, transeksual (LGBT) juga watak kekuasaaan yang diskriminatif kelompok-kelompok agama dan aliran kepercayaan minoritas: seperti larangan acara Kebaktian Kebangunan Rohani/KKR di Jogja Festival 2007 (Selasa, 29 Mei 2007 yang sedianya menghadirkan evangelist asal Kanada Dr Peter Youngren dan Adon vocalis Base Jam) batal terselenggara karena warga yang tergabung dalam ormas keagamaan di Jogja mendesak polisi untuk tidak memberi izin. Mereka sebut kegiatan itu adalah pemurtadan massal berkedok pengobatan gratis.

Budaya militeristik juga menguat pada kasus IPDN, menyusul kematian Cliff Muntu, salah seorang praja tingkat II di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor Sumedang, Jawa Barat. Juga dalam insiden penembakan oleh anggota TNI AL terhadap warga Alas Tlogo, Grati, Lekok, Kabupaten Pasuruan hingga menewaskan 5 warga desa Grati yang terdiri dari beberapa wanita dan anak balita.

Di ranah seni audio visual/film, dinamikanya bisa dimulai pada Rabu 3 Januari 2007 di Jakarta saat rame-rame pekerja film (Dian Sastro, Mira Lesmana, Tora Sudiro, Hanung Bramantyo, Riri Riza dan sebagainya) yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) mengembalikan piala citra FFI 2006 sebagai protes atas penjurian yang memenangkan Ekskul sebagai film terbaik Festival Film Indonesia 2006. Protes MFI berlanjut terhadap sistem kelembagaan perfilman Indonesia yang dinilai MFI masih dijalankan oleh lembaga dan organisasi bentukan Departemen Penerangan di masa Orde Baru, seperti Lembaga Sensor Film, BP2N, organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya yang mereka sebut tidak mencerminkan semangat pembaharuan serta tidak berpihak pada kemajuan perfilman Indonesia. Sementara itu industri film Indonesia setelah era percintaan remaja kini tengah booming film-film horor macam Kuntilanak, Pocong, Hantu Bangku Kosong, Hantu Jeruk Purut, Terowongan Casablanca, Malam Jumat Kliwon, Angker Batu, Suster Ngesot yang menindih film bernafaskan nasionalisme (Naga Bonar 2) atau tema-tema yang lebih rasional; Mendadak Dangdut, Denias, dan Mengejar Mas-Mas.

Sektor musik, di industri pertunjukan masih menghadirkan artis, grup vocal atau band dari luar negeri dan jadi andalan untuk nanggok untung para promotor musik kita. Kurun waktu setengah tahun ini ada Hoobastank (Rock), Good Charlotte (Rock), Dragon Force (Speed Metal), Soasin (Rock), Muse (Rock), Lionel Ritchie (Pop), DJ Tiesto (Dance/House), Simple Plan (Pop Punk), III Divo (Klasik), Boyz II Men (R&B), Toto (Classic Rock). Juga hajatan Jakarta International Java Jazz Festival yang menghadirkan banyak musisi jazz dunia.

Selain mengimpor musik dari mancanegara, kita juga mengekspor musik ke luar negeri. Setelah Anggun kini giliran Agnes bersiap Go Asia: ke Jepang, Taiwan, dan Hongkong. Untuk kasus Malaysia, saking mbludaknya kiprah artis pop kita di sana membuat seorang pengamat musik Malaysia (yang ia sendiri akui bahwa banyak karya bermutu baik sastra dan musik Indonesia menjadi santapan jiwa rakyat Malaysia sejak lama, bahkan ketika era sebelum merdeka dulu seperti lagu Jangan Ditanya, Melati di Tapal Batas, Rindu Lukisan Ismail Marzuki atau Bengawan Solo Gesang, menurutnya telah lama hidup di jiwa rakyat negeri itu) perlu menulis artikel di Utusan Malaysia Online dengan judul: “Kenapa Impor Lagu Sampah?”

Nidji saja kaget saat menyambangi radio-radio Malaysia untuk promo musik di sana, ternyata tangga lagu mereka, posisi 10 besar semuanya diisi oleh musik Indonesia.

Sementara industri rekaman artis lokal masih diwarnai pertempuran antara yang lama versus pendatang baru, otomatis promo dagangnya bersaing keras, inovatif, kreatif dan gila-gilaan dalam nggelontorkan uang; contohnya launching album Hari Yang Cerah- Peterpan ditayangkan serentak di 7 stasiun TV.
***

Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu

Sekalipun demikian nilai-nilai budaya progresif dan kerakyatan secara bertahap juga terus mengalami kemajuan. Kemajuan di bidang kualitasnya, kuantitasnya, juga ketegasannya untuk berpihak pada kepentingan rakyat miskin.

Di Januari 2007, dari Manado Sulawesi Utara pembangunan gerakan kebudayaan pro rakyat miskin diawali dengan tampilnya Kolektif Kerja Budaya Rakyat (KKBR) pada tanggal 6 Januari 2007. Kelahiran KKBR adalah salah satu upaya yang patut dihargai untuk menjawab kebutuhan akan hadirnya organ kebudayaan di Manado untuk bersama-sama gerakan rakyat demokratik lainnya memperjuangkan hak-hak politik dan kesejahteraan rakyat yang masih banyak ditindas. Terbentuk dan langsung menggebrak dengan kerja-kerja budaya seperti pentas musik, bedah buku, aksi massa, pentas teater, penggalangan front, dan merencanakan penerbitan koran Gerak Budaya.

Saat May Day 2007 lalu, kreativitas buruh (dari FSBJ, Kasbi dan organisasi-organisasi lain yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat) tercermin pada tuntutan naikkan upah, penghapusan sistem kerja kontrak, penolakan PHK, korupsi yang disampaikan dengan indah lewat kaos, poster, karikatur, aksi teatrikal. Lagu Awas! Inggris Amerika (yang pernah populer sebagai lagu perjuangan rakyat melawan neo kolonialis era Soekarno dulu) membahana dinyanyikan massa aksi, tak ketinggalan seniman musik dari Bandung; Mukti Mukti menyanyikan lagunya: Menitip Mati /The Revolusi is.

Lembaga Pers Mahasiswa Ekonomi (LPME) Ecpose FE Universitas Jember menggelar bedah buku (sastra) buruh migran bertema: “TKI Menulis, TKI Bicara” pada 4 Mei 2007. Hadir Enni Kusuma (TKI yang bekerja di Hongkong sebagai PRT) penulis buku Anda Luar Biasa!.

Dari GOR Pakuan Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor (12 Mei 2007) diskusi publik, art perfomance dan Pemutaran film menandai peringatan Widji Thukul: “Merekam Ketidakadilan Melalui Seni” yang diadakan oleh Ultimus, Pantau, Ikohi, Kontras, Komunitas Jumat Malam Jatinangor, Imafo, MA, JPK.

Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), Indie Art, Institute for Global Justice (IGJ), Galeri Publik mengadakan rangkaian acara Workshop dan Pameran Seni Rupa Propaganda dari tanggal 11 Maret-11 Mei 2007. Kegiatan ini diakhiri dengan diskusi seni rupa propaganda yang menghadirkan pembicara Yustoni Volunteero (Taring Padi), Ade Darmawan (Direktur Ruang Rupa) dan Revitriyoso (Koordinator Galeri Publik).

Peluncuran buku terbitan Reform Institute Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto mengajak kita untuk meyakini dan merebut kembali metode perjuangan aksi massa serta warisan kekayaan nasional hasil perjuangan revolusi nasional yang terhenti dengan kontra-revolusi 1965 sebagai senjata perjuangan pembebasan nasional dari cengkraman imperialisme. Max Lane, si penulis buku menegaskan dalam pidato peluncurannya di Jakarta 22 Mei 2007: “Masih banyak kekayaan revolusi yang perlu digali kembali termasuk ideologi kerakyatan yang terkandung dalam tulisan-tulisan karya Kartini, Tirto Adi Suryo, Soekarno, dan lain-lain dalam bidang politik maupun sastra”. Sayangnya, karya-karya besar seperti tulisan Soekarno “Nasionalisme, Islam dan Marxisme,” atau karya Sutan Sjahrir, Muhammad Natsir, HOS Cokroaminoto, tidak pernah dibaca anak-anak sekolah Indonesia. “Bagaimana Indonesia bisa menghadapi ancaman Barat jika hasil kekayaan revolusi nasionalnya sendiri tidak diketahui oleh bangsanya?” demikian Max mempertanyakan.

Tidak lama lagi, publik akan dapat menikmati pementasan Teater Nyai Ontosoroh, adaptasi novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer akan dilangsungkan di Jakarta bulan agustus 2007. Sang sutradara, Wawan Sofwan akan didukung squad tim artistik antara lain Dolorosa Sinaga, Gallis A.S, Rin Threesia, Fahmi Alatas, Mogan Pasaribu, Jerry Pattinama, Azis Dying, dan Faiza Mardzoeki sebagai penulis naskah. Para pemain ada Happy Salma, David Chalik, Madina, Andi Bersama, Teuku Rifna Wikana, Join, Margesti, Willem Bevers dan lain-lain.

Rencananya, FSB Retorika Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta akan membuat pementasan Ketoprak Lesung pada 8 September 2007, mengangkat naskah yang diinspirasi dari Tragedi Kemanusiaan ’65 dan pementasan dibuat di kota Jogja.

Tapi seperti sudah ditulis di awal bahwa demokrasi saat ini rentan terhadap represifitas oleh negara (polisi, tentara, kejaksaan agung) serta kelompok-kelompok reaksioner agama seperti: larangan edar terhadap 13 judul buku teks pelajaran sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK oleh Kejaksaan Agung dengan SK 19/A/JA/03/2007 tanggal 5 Maret 2007. Alasannya adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku tersebut, serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S. PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia) dan penerbit buku yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Indonesia-Ikapi memprotes hal tersebut.

Penundaan Diskusi buku Memahami Revolusi Venezuela pada hari kelima acara May Rally 2007 yang diselenggarakan JPK (Jaringan Peduli Kemanusiaan), Ultimus, Kelompok Kerja Rumah Kiri, Buku Kiri, Aliansi Muda Progresif, dan KontraS (karena diawasi, dibatasi dengan berbagai alasan oleh Kepolisian Resort Bandung) semakin meyakinkan dan menunjukkan bahwa negara tidak bisa menjamin (malah justru membatasi) ekspresi rakyat untuk leluasa berkebudayaan.

Karenanyalah kita untuk tidak bosan membangun persatuan dan konsolidasi antar individu/kelompok pelaku budaya progressif dan kelompok-kelompok minoritas yang kerap jadi korban. Kalaupun tidak bisa berkumpul dalam satu wadah (Partai Politik misalnya) tentunya bisa dengan wadah lain yang lebih longgar semacam Blok Kebudayaan yang punya karakter ilmiah, demokratik, pro rakyat, cinta teknologi serta anti terhadap imperialisme. ***

* Ketua Bidang Budaya Dewan Pimpinan Pusat
Partai Persatuan Pembebasan Nasional – DPP Papernas.

Hari - hari yang melelahkan....


PLTN di muria gimana ya kabarnya? lumayan melelahkan perdebatan yang ada. begitu banyak kepentingan yang masuk dalam kegiatan baik menolak ataupun menerima pembangunan PLTN Muria. uhh... capek dechh (gaul nehh) secara konsep PLTN mungkin ada baiknya, tapi emang kalau di liat dalam kondisi dan sistem pemerintahan indonesia ini memang harus di pertanyakan lagi. ada perusahaan besar yang jelas2 sadar bahwa kedepan krisis energi akan banyak menghantui dalam produksi perusahaan. tapi berani menolak pembangunan PLTN. What Happen men??? kalau memang semulia itu harus dong di dukung. but, who care.. kenapa baru sekarang, kenapa tidak dari dulu?? Waiiiiiiiiiii???? Tolak PLTN atau Harakiri!!!! ehhh... ada cerita baru. konon kalau jauh sebelum aku lahir di sekitar muria ini masih dikelilingi laut. katanya lagi bahwa untuk bisa mencapai muria harus menyebrang air (lautan) dengan menggunakan sampan ato perahu. bingung juga sehh.. sampai sekarang soalnya tidak pernah diceritakan oleh bapak atau emak. bahkan di sekolah juga tidak banyak disinggung tentang sejarah kota atau asal-usulnya. lebih banyak yang diceritakan adalah hoiii... PKI itu jahat. PKI itu kejammm.. meraka orang-orang yang tidak beragama. mereka adalah kaum yang tidak boleh ada dimuka bumi. kaum yang sudah di laknat oleh Tuhan. bener ga yaa?? tapi kok tokohnya ada punya title haji. H Misbach. konon juga kalau aidit itu punya embel-embel habib. yang bener yang mana nehhh.. persetan dengan segala macam embel-embel ato cap yang diberikan oleh penguasa (yang tidak pantas untuk berkuasa). aku adalah libido kemarahan dari sebuah juwa yang terpenjara dalam duni ini. yang akan selalu menjadi hantu bagi tuhan dan iblis dan penguasa yang ada. hmmm... ada film baru yang bagus die hard ke 4. keren abiss... ancur-ancuran. begitu hebatnya holliwood sehingga bisa menghegemoni lewat banyak karya. kita karya aja di laminating oleh negeri orang. apa yang kemudian masih bisa dibanggakan dari indonesia ini. minyak yang ngebor exxon, lagu yang punya hak paten malaysia, pulau di klaim malaysia, bahkan pentol jarum yang untuk jahit made in taiwan menn... gila banget dechh. beli.. beli... konsumsi.. konsumsi kami sehingga kau akan menjadi anak negeri yang sibuk untuk bisa naik haji. bahasa saja kita sudah tidak bangga.. gue banget gitu lohh... wess ahh.. cukup sekian sekk.. kapan-kapan lageee.. muahh.. muahhh

Surat Dari Kawan

Dear lelaki pemberontak,
Ini adalah surat dari LELAKI PENSIUNAN PEMBERONTAK yang mencoba berdamai dengan kondisi riil untuk mengusahakan solusi tanpa kekerasan. Terima kasih dari saudara sesama lelaki yang sama2 kecanduan kepada ilmu pengetahuan untuk memperkaya khazanah, semoga kita masih termasuk orang2 yang tidak mau ditundukkan oleh hukum yang lupa bahwa hukum juga dilahirkan dari manusia. Mohon maaf kemarin saya belum bisa menyempatkan waktu untuk berkunjung sesama (veteran ????) angkatan reformasi dan keinginan saling bertukar cerita untuk melepas rindu akan revolusi. Belenggu yang menjeratku makin bertambah ketika duduk sebagai seorang buruh yang selalu ya ya ya dengan atasan (yang ini tidak pernah selalu kulakukan, akibatnya pindah departemen, hahahaha). Dan sekarang aku memasuki episode yang lain : membesarkan anak dalam ruang lingkup. Dari anaklah, aku belajar bahwa perubahan tidak selalu dalam api revolusi, tetapi dapat dilakukan pula dalam medan kebudayaan. Medan ini lebih jangka panjang, karena melampaui beberapa generasi (lebih tepat disebut sebagai evolusi kebudayaan). Dalam terminologi YIN-YANG, apabila sisi "lunak" (baca : kebudayaan) tidak diperkuat terlebih dahulu, maka sisi "keras" (baca : revolusi) tidak akan cukup tajam untuk membuat sebuah perubahan.
Negara memang jahat (seperti dikatakan oleh Socrates), bahkan orang mau melihat pusar perempuan (ranah libido kelamin) juga dilarang. Manusia tanpa libido, tidak akan pernah muncul gairah untuk revolusi. Negara ini memang dipimpin orang-orang GOBLOK yang melihat bahwa libido sumber maksiat. Jika libido (baca lebih luas : hasrat) mati, tentu negara ini dipenuhi manusia yang sudah bukan manusia lagi, karena hasrat keberlanjutan dan perubahan juga ikut mati.
wis ah, maaf masturbasi-ku terlalu panjang.
A Luta Continua !!!
Sujana Dewandaru

SUMPAH PEMUDA DAN NEO-LIBERALISME



Oleh: Rudolfus Antonius


Tahun ini kita memperingati 79 tahun Sumpah Pemuda. Ikrar kebangsaan kaum muda itu menandai fase penegas dalam pergerakan menuju kemerdekaan nasional. Dalam ikrar itu nasionalisme menjadi raison d’etre kemerdekaan demi berdirinya suatu negara kebangsaan. Satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa: Indonesia, yakni satu Indonesia yang merdeka.


Bila direnungkan, faham kebangsaan yang terungkap dalam “satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa” mengekspresikan kesatuan geopolitik.


Pertama, Bangsa Indonesia adalah suatu himpunan manusia yang terdiri dari beragam suku bangsa yang mendiami suatu wilayah tertentu. Pada waktu itu, wilayah tersebut adalah Hindia Belanda alias kepulauan nusantara – dari Sabang sampai Merauke – yang dijajah Belanda. Keterjajahan penduduk nusantara mempertemukan mereka dalam kesamaan nasib. Kesamaan nasib ini menjadi dorongan untuk bersatu, merumuskan, bahkan memperjuangkan cita-cita bersama, yakni kemerdekaan nasional dan berdirinya suatu negara kebangsaan.


Kedua, terkait erat dengan itu, tanpa menutup mata apalagi menafsirkan kebhinekaan bahasa ibu setiap suku bangsa, para pemuda mengikrarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang menghubungkan bahkan mempersatukan manusia-manusia nusantara dalam konteks kesamaan nasib dan aspirasi sama, yakni kemerdekaan nasional dan berdirinya suatu negara kebangsaan. Dengan demikian Bahasa Indonesia merupakan bahasa politik, politik kebangsaan.


Nasionalisme adalah jiwa Sumpah Pemuda, sedangkan kemerdekaan nasional dan berdirinya negara kebangsaan merupakan visinya. Sekarang, setelah kemerdekaan nasional dan negara kebangsaan sudah berusia 62 tahun dan kita memperingati 79 tahun Sumpah Pemuda, apakah nasionalisme, kemerdekaan nasional, dan negara kebangsaan masih relevan bagi generasi masa kini Bangsa Indonesia? Pada saat yang sama kita hidup di era globalisasi, yang situasinya tampak sangat berbeda dengan zaman pergerakan nasional saat Sumpah Pemuda dicetuskan. Sekali lagi, apakah jiwa dan visi Sumpah Pemuda masih relevan bagi kita, generasi kontemporer Bangsa Indonesia?


Bila kita menyatakan bahwa jiwa dan visi Sumpah Pemuda masih relevan di era globalisasi ini, setidaknya kita perlu memaknainya berdasarkan dua sisi kenyataan sosio-historis yang saling berdialektik.


Di satu sisi, secara ekonomi-politik barangkali kita mahfum bahwa globalisasi telah menjadi kendaraan Neo-Liberalisme, dengan pemain-pemain utama korporasi-korporasi transnasional, sementara lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO menjadi pengawal-pengawalnya. Sebagai rezim perekonomian global, Neo-Liberalisme secara politik telah menelikung pemerintah dari negara-negara kebangsaan di Selatan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi mereka. Secara ekonomik, Neo-Liberalisme menciptakan ketidakadilan yang semakin besar dengan kian terdesak bahkan terjungkalnya pemain-pemain ekonomi yang tak cukup cakap untuk bersaing, dan terpuruknya semakin banyak orang di negeri-negeri Selatan ke dalam jurang kemiskinan yang parah. Neo-Liberalisme juga turut andil dalam memperparah disintegrasi sosial dan kerusakan ekologis di negara-negara Selatan.


Di sisi lain, globalisasi juga menawarkan ajakan kepada kita untuk mengadakan perlawanan terhadap Neo-Liberalisme. Perkembangan-perkembangan di Amerika Latin beberapa tahun terakhir ini memperlihatkan kepada kita bahwa Neo-Liberalisme bukannya tidak dapat dilawan, bahkan ada alternatif alih-alih Neo-Liberalisme. Kekuatan-kekuatan progresif di Amerika Latin bahkan telah mencetuskan pembentukan suatu Internasionale yang baru guna membebaskan dunia dari Neo-Liberalisme.


Berdasarkan kedua hal ini, jiwa dan visi Sumpah Pemuda dapat dimaknai menurut azas-azas yang sebenarnya sudah dikemukan oleh salah seorang founding father kita, Bung Karno. Dalam pemikirannya tentang Pancasila dan Marhaenisme, Bung Karno mengemukakan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.


Sosio-nasionalisme adalah faham kebangsaan yang mengindahkan internasionalisme atau perikemanusiaan. Di satu sisi, kita mengklaim kemandirian bangsa dan negara kita dan menolak campur tangan bahkan dikte dari pihak asing manapun. Implementasinya, dalam bidang ekonomi kita berani menolak Neo-Liberalisme dan menempuh alternatif yang lebih berkeadilan. Di sisi lain, kita mengembangkan solidaritas dengan segenap umat manusia (khususnya bangsa-bangsa yang hidup dalam ketertindasan) dan berjuang demi suatu tata-dunia yang lebih adil-manusiawi.


Sosio-demokrasi adalah faham demokrasi yang menuntut kedaulatan rakyat baik atas kehidupan politik maupun ekonomi suatu negara. Secara politis, rakyat berhak memilih pemimpin-pemimpin mereka serta mengawasi kiprah mereka dalam menyelenggarakan kekuasaan. Secara ekonomik, rakyat berhak atas akses penciptaan kekayaan dan distribusi yang adil dari kekayaan tersebut. Dengan kata lain, rakyat berhak atas keadilan sosial. Dalam hal ini pemerintah bertanggungjawab untuk menciptakan kondisi-kondisi demi terselenggaranya proses yang adil-manusiawi dalam penciptaan kekayaan dan menjamin terselenggaranya distribusi yang adil sehingga segenap rakyat dapat hidup secara layak demi kemanusiaan. Implikasinya, pemerintah harus berani mengambil sikap yang populis terhadap Neo-Liberalisme, juga kapitalisme-kroni yang telah menjadi kanker di republik kita.


Bagaimana dengan kaum muda Indonesia yang hidup di era globalisasi ini? Globalisasi menimbulkan efek hegemonik yang mendomestikasi elan progresif-revolusioner kaum muda. Efek hegemonik itu adalah kesadaran palsu, yang bisa mengambil wujud dalam sikap apatis, pragmatis, atau malah sikap primordial. Sudah waktunya, bila tidak dikatakan terlambat, kaum muda Indonesia mematahkan belenggu kesadaran palsu, mendekonstruksi Neo-Liberalisme, dan mereaffirmasi serta meng-elan-progresif-kan nasionalisme, kemerdekaan nasional, dan negara kebangsaan – demi suatu Indonesia baru, bahkan demi suatu dunia yang baru yang lebih adil-manusiawi.


Rudolfus Antonius adalah mahasiswa pascasarjana fakultas theologia Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.

Sabtu, November 24, 2007

Wiji Thukul: "Orde Baru Memberangus Pikiran Rakyat"

Wiji Thukul, si penyair demonstran itu, lahir di Kampung Sorogenen,

Jebres, Solo, 1963. Seperti mayoritas tetangganya, ayahnya juga

seorang tukang becak. Tahun 1982 ia drop-out dari SMKI (Sekolah

Menengah Karawitan Indonesia), jurusan tari. Pengalaman ini, dan

sejumlah pengalaman lainnya -- seperti menjual koran (waktu tinggal di

Semarang), buruh/tukang pelitur dikampungnya, bahkan ngamen ke

kota-kota lain -- tidak menjadikan dirinya rendah diri.


Pada 1988, Thukul pernah menjadi wartawan di Masa Kini, meski cuma

tiga bulan. Dan puisi-puisinya diterbitkan dalam media cetak dalam dan

luar negeri. Tiga tahun kemudian, bersama dramawan dan penyair WS

Rendra, ia menerima penghargaan Wertheim Encourage Award, yang pertama

sejak didirikan. Waktu itu penghargaan diberikan langsung oleh

Wertheim Stichting di negeri Belanda. Tentang penghargaan ini, Wiji

mengaku sempat bangga karena ia menerimanya lebih dulu dibanding

Pramudya Ananta Toer.


Perkawinannya dengan Sipon -- buruh pabrik moto (bumbu masak) yang

kini jadi penjahit di kampung Kalangan -- dikaruniai dua anak:

Ngantiwani dan Fajar Merah. Ia bangga dengan kedua anaknya karena

lukisan anaknya dengan tanda tangan Wani, pernah membuat aparat

bertanya-tanya. Bahkan anak pertamanya ini sudah pandai membuat fabel

modern yang bagus atas pengalaman tentang penggusuran. Thukul

mendirikan dan mengajar di Sanggar Suka Banjir di kampungnya.

Bersama-sama dengan orang-orang yang peduli pada rakyat, i a juga

mendirikian Sanggar Lukis di Sragen. Buku-bukunya yang terbit sebagai

kumpulan tunggal; Mencari Tanah Lapang; Darman dan Puisi Pelo.

Sedangkan kumpulan puisi bersama, banyak sekali: termasuk yang

diterbitkan Kedubes Jerman.


***********************************************************************


Sebagai penyair maupun aktivis, Anda tidak jarang kena cekal,

diintimidasi bahkan kena gebuk. Bagaimana pengalaman Anda?

* Sebenarnya masalah cekal-mencekal, pelarangan, pembubaran bahkan

intimidasi -- baik terselubung maupun terang-terangan -- adalah

masalah kita bersama. Peristiwa semacam itu setiap hari ada di depan

kita, di kota mana pun ada. Bahkan ada yang lebih dari itu, seperti

dibunuhnya petani atau rakyat kecil diberbagai tempat: Nipah (Madura),

Haur Koneng, Timika, Timtim dan masih banyak lagi. Ini semua adalah

masalah sekaligus pengalaman kolektif kita. Penganiayaan-penganiayaan

itu adalah masalah dan pengalaman t raumatis kita bersama, terutama

masalah rakyat kecil.


* Penganiayaan itu bentuknya macam-macam. Ada bentuk penganiayaan justru

melalui teman-teman sendiri. Teman saya seorang pelukis instalasi

pernah omong tentang itu. Banyak seniman lukis yang tidak berani

melukis realis bukan karena ditakut-takuti tentara atau polisi secara

langsung, tetapi melalui teman-temannya sendiri. Kenapa ditakut-takuti

temannya sendiri? Karena temannya ini mendapat ketakutan dari temannya

yang pernah ditakut-takuti oleh aparat atau mereka yang punya

kekuasaan.


Ini gejala apa?

* Inilah salah satu bentuk penindasan yang paling berbahaya. Sebab

Jumat, November 23, 2007

tentang sesuatu

siang tadi aku berdiskusi dengan kawan yang biasa, bahas tentang sejarah muria. konon sekitar muria itu di kelilingi lautan (sekarang cuma sebelah utara). kudus dan skitarnya awalnya masih berupa lautan. aku seh percaya itu, cuma itukan dah lama banget. jauh sebelum keberadaan sunan sama kerajaan. kalau baca di arus baliknya pram seh, sedikit kliatan emang bahwa sebelah alun2 rembang dulu tempat bersandarnya kapal.
hmmmm....
sejarahnya kita ternyata masih terpotong2, kayaknya lengkap di museum belanda dari pada di arsip nasional kita.
capek banget hari ini, padahal ga begitu sibuk. mau baca2 juga males.belajar ngelola blog aja lahh..
bingung mau nulis apa. otak penuh, tapi ga mau dikeluarin. kurang bercinta kalii yaaa