Oleh: Rudolfus Antonius
Tahun ini kita memperingati 79 tahun Sumpah Pemuda. Ikrar kebangsaan kaum muda itu menandai fase penegas dalam pergerakan menuju kemerdekaan nasional. Dalam ikrar itu nasionalisme menjadi raison d’etre kemerdekaan demi berdirinya suatu negara kebangsaan. Satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa: Indonesia, yakni satu Indonesia yang merdeka.
Bila direnungkan, faham kebangsaan yang terungkap dalam “satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa” mengekspresikan kesatuan geopolitik.
Pertama, Bangsa Indonesia adalah suatu himpunan manusia yang terdiri dari beragam suku bangsa yang mendiami suatu wilayah tertentu. Pada waktu itu, wilayah tersebut adalah Hindia Belanda alias kepulauan nusantara – dari Sabang sampai Merauke – yang dijajah Belanda. Keterjajahan penduduk nusantara mempertemukan mereka dalam kesamaan nasib. Kesamaan nasib ini menjadi dorongan untuk bersatu, merumuskan, bahkan memperjuangkan cita-cita bersama, yakni kemerdekaan nasional dan berdirinya suatu negara kebangsaan.
Kedua, terkait erat dengan itu, tanpa menutup mata apalagi menafsirkan kebhinekaan bahasa ibu setiap suku bangsa, para pemuda mengikrarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang menghubungkan bahkan mempersatukan manusia-manusia nusantara dalam konteks kesamaan nasib dan aspirasi sama, yakni kemerdekaan nasional dan berdirinya suatu negara kebangsaan. Dengan demikian Bahasa Indonesia merupakan bahasa politik, politik kebangsaan.
Nasionalisme adalah jiwa Sumpah Pemuda, sedangkan kemerdekaan nasional dan berdirinya negara kebangsaan merupakan visinya. Sekarang, setelah kemerdekaan nasional dan negara kebangsaan sudah berusia 62 tahun dan kita memperingati 79 tahun Sumpah Pemuda, apakah nasionalisme, kemerdekaan nasional, dan negara kebangsaan masih relevan bagi generasi masa kini Bangsa Indonesia? Pada saat yang sama kita hidup di era globalisasi, yang situasinya tampak sangat berbeda dengan zaman pergerakan nasional saat Sumpah Pemuda dicetuskan. Sekali lagi, apakah jiwa dan visi Sumpah Pemuda masih relevan bagi kita, generasi kontemporer Bangsa Indonesia?
Bila kita menyatakan bahwa jiwa dan visi Sumpah Pemuda masih relevan di era globalisasi ini, setidaknya kita perlu memaknainya berdasarkan dua sisi kenyataan sosio-historis yang saling berdialektik.
Di satu sisi, secara ekonomi-politik barangkali kita mahfum bahwa globalisasi telah menjadi kendaraan Neo-Liberalisme, dengan pemain-pemain utama korporasi-korporasi transnasional, sementara lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO menjadi pengawal-pengawalnya. Sebagai rezim perekonomian global, Neo-Liberalisme secara politik telah menelikung pemerintah dari negara-negara kebangsaan di Selatan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi mereka. Secara ekonomik, Neo-Liberalisme menciptakan ketidakadilan yang semakin besar dengan kian terdesak bahkan terjungkalnya pemain-pemain ekonomi yang tak cukup cakap untuk bersaing, dan terpuruknya semakin banyak orang di negeri-negeri Selatan ke dalam jurang kemiskinan yang parah. Neo-Liberalisme juga turut andil dalam memperparah disintegrasi sosial dan kerusakan ekologis di negara-negara Selatan.
Di sisi lain, globalisasi juga menawarkan ajakan kepada kita untuk mengadakan perlawanan terhadap Neo-Liberalisme. Perkembangan-perkembangan di Amerika Latin beberapa tahun terakhir ini memperlihatkan kepada kita bahwa Neo-Liberalisme bukannya tidak dapat dilawan, bahkan ada alternatif alih-alih Neo-Liberalisme. Kekuatan-kekuatan progresif di Amerika Latin bahkan telah mencetuskan pembentukan suatu Internasionale yang baru guna membebaskan dunia dari Neo-Liberalisme.
Berdasarkan kedua hal ini, jiwa dan visi Sumpah Pemuda dapat dimaknai menurut azas-azas yang sebenarnya sudah dikemukan oleh salah seorang founding father kita, Bung Karno. Dalam pemikirannya tentang Pancasila dan Marhaenisme, Bung Karno mengemukakan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Sosio-nasionalisme adalah faham kebangsaan yang mengindahkan internasionalisme atau perikemanusiaan. Di satu sisi, kita mengklaim kemandirian bangsa dan negara kita dan menolak campur tangan bahkan dikte dari pihak asing manapun. Implementasinya, dalam bidang ekonomi kita berani menolak Neo-Liberalisme dan menempuh alternatif yang lebih berkeadilan. Di sisi lain, kita mengembangkan solidaritas dengan segenap umat manusia (khususnya bangsa-bangsa yang hidup dalam ketertindasan) dan berjuang demi suatu tata-dunia yang lebih adil-manusiawi.
Sosio-demokrasi adalah faham demokrasi yang menuntut kedaulatan rakyat baik atas kehidupan politik maupun ekonomi suatu negara. Secara politis, rakyat berhak memilih pemimpin-pemimpin mereka serta mengawasi kiprah mereka dalam menyelenggarakan kekuasaan. Secara ekonomik, rakyat berhak atas akses penciptaan kekayaan dan distribusi yang adil dari kekayaan tersebut. Dengan kata lain, rakyat berhak atas keadilan sosial. Dalam hal ini pemerintah bertanggungjawab untuk menciptakan kondisi-kondisi demi terselenggaranya proses yang adil-manusiawi dalam penciptaan kekayaan dan menjamin terselenggaranya distribusi yang adil sehingga segenap rakyat dapat hidup secara layak demi kemanusiaan. Implikasinya, pemerintah harus berani mengambil sikap yang populis terhadap Neo-Liberalisme, juga kapitalisme-kroni yang telah menjadi kanker di republik kita.
Bagaimana dengan kaum muda Indonesia yang hidup di era globalisasi ini? Globalisasi menimbulkan efek hegemonik yang mendomestikasi elan progresif-revolusioner kaum muda. Efek hegemonik itu adalah kesadaran palsu, yang bisa mengambil wujud dalam sikap apatis, pragmatis, atau malah sikap primordial. Sudah waktunya, bila tidak dikatakan terlambat, kaum muda Indonesia mematahkan belenggu kesadaran palsu, mendekonstruksi Neo-Liberalisme, dan mereaffirmasi serta meng-elan-progresif-kan nasionalisme, kemerdekaan nasional, dan negara kebangsaan – demi suatu Indonesia baru, bahkan demi suatu dunia yang baru yang lebih adil-manusiawi.
Rudolfus Antonius adalah mahasiswa pascasarjana fakultas theologia Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar