ANDA TELAH MEMASUKI AREA TERLARANG

hanya orang2 yang berimanlah yang bisa mengakses area ini. akan datang satu masa yang telah kita nantikan. masa dimana tidak ada penindasan dan penjajahan. masa yang akan dinantikan semua umat...

Sabtu, November 24, 2007

Wiji Thukul: "Orde Baru Memberangus Pikiran Rakyat"

Wiji Thukul, si penyair demonstran itu, lahir di Kampung Sorogenen,

Jebres, Solo, 1963. Seperti mayoritas tetangganya, ayahnya juga

seorang tukang becak. Tahun 1982 ia drop-out dari SMKI (Sekolah

Menengah Karawitan Indonesia), jurusan tari. Pengalaman ini, dan

sejumlah pengalaman lainnya -- seperti menjual koran (waktu tinggal di

Semarang), buruh/tukang pelitur dikampungnya, bahkan ngamen ke

kota-kota lain -- tidak menjadikan dirinya rendah diri.


Pada 1988, Thukul pernah menjadi wartawan di Masa Kini, meski cuma

tiga bulan. Dan puisi-puisinya diterbitkan dalam media cetak dalam dan

luar negeri. Tiga tahun kemudian, bersama dramawan dan penyair WS

Rendra, ia menerima penghargaan Wertheim Encourage Award, yang pertama

sejak didirikan. Waktu itu penghargaan diberikan langsung oleh

Wertheim Stichting di negeri Belanda. Tentang penghargaan ini, Wiji

mengaku sempat bangga karena ia menerimanya lebih dulu dibanding

Pramudya Ananta Toer.


Perkawinannya dengan Sipon -- buruh pabrik moto (bumbu masak) yang

kini jadi penjahit di kampung Kalangan -- dikaruniai dua anak:

Ngantiwani dan Fajar Merah. Ia bangga dengan kedua anaknya karena

lukisan anaknya dengan tanda tangan Wani, pernah membuat aparat

bertanya-tanya. Bahkan anak pertamanya ini sudah pandai membuat fabel

modern yang bagus atas pengalaman tentang penggusuran. Thukul

mendirikan dan mengajar di Sanggar Suka Banjir di kampungnya.

Bersama-sama dengan orang-orang yang peduli pada rakyat, i a juga

mendirikian Sanggar Lukis di Sragen. Buku-bukunya yang terbit sebagai

kumpulan tunggal; Mencari Tanah Lapang; Darman dan Puisi Pelo.

Sedangkan kumpulan puisi bersama, banyak sekali: termasuk yang

diterbitkan Kedubes Jerman.


***********************************************************************


Sebagai penyair maupun aktivis, Anda tidak jarang kena cekal,

diintimidasi bahkan kena gebuk. Bagaimana pengalaman Anda?

* Sebenarnya masalah cekal-mencekal, pelarangan, pembubaran bahkan

intimidasi -- baik terselubung maupun terang-terangan -- adalah

masalah kita bersama. Peristiwa semacam itu setiap hari ada di depan

kita, di kota mana pun ada. Bahkan ada yang lebih dari itu, seperti

dibunuhnya petani atau rakyat kecil diberbagai tempat: Nipah (Madura),

Haur Koneng, Timika, Timtim dan masih banyak lagi. Ini semua adalah

masalah sekaligus pengalaman kolektif kita. Penganiayaan-penganiayaan

itu adalah masalah dan pengalaman t raumatis kita bersama, terutama

masalah rakyat kecil.


* Penganiayaan itu bentuknya macam-macam. Ada bentuk penganiayaan justru

melalui teman-teman sendiri. Teman saya seorang pelukis instalasi

pernah omong tentang itu. Banyak seniman lukis yang tidak berani

melukis realis bukan karena ditakut-takuti tentara atau polisi secara

langsung, tetapi melalui teman-temannya sendiri. Kenapa ditakut-takuti

temannya sendiri? Karena temannya ini mendapat ketakutan dari temannya

yang pernah ditakut-takuti oleh aparat atau mereka yang punya

kekuasaan.


Ini gejala apa?

* Inilah salah satu bentuk penindasan yang paling berbahaya. Sebab

Tidak ada komentar: