Wiji Thukul, si penyair demonstran itu, lahir di Kampung Sorogenen,
Jebres, Solo, 1963. Seperti mayoritas tetangganya, ayahnya juga
seorang tukang becak. Tahun 1982 ia drop-out dari SMKI (Sekolah
Menengah Karawitan Indonesia), jurusan tari. Pengalaman ini, dan
sejumlah pengalaman lainnya -- seperti menjual koran (waktu tinggal di
Semarang), buruh/tukang pelitur dikampungnya, bahkan ngamen ke
kota-kota lain -- tidak menjadikan dirinya rendah diri.
Pada 1988, Thukul pernah menjadi wartawan di Masa Kini, meski cuma
tiga bulan. Dan puisi-puisinya diterbitkan dalam media cetak dalam dan
luar negeri. Tiga tahun kemudian, bersama dramawan dan penyair WS
Rendra, ia menerima penghargaan Wertheim Encourage Award, yang pertama
sejak didirikan. Waktu itu penghargaan diberikan langsung oleh
Wertheim Stichting di negeri Belanda. Tentang penghargaan ini, Wiji
mengaku sempat bangga karena ia menerimanya lebih dulu dibanding
Pramudya Ananta Toer.
Perkawinannya dengan Sipon -- buruh pabrik moto (bumbu masak) yang
kini jadi penjahit di kampung Kalangan -- dikaruniai dua anak:
Ngantiwani dan Fajar Merah. Ia bangga dengan kedua anaknya karena
lukisan anaknya dengan tanda tangan Wani, pernah membuat aparat
bertanya-tanya. Bahkan anak pertamanya ini sudah pandai membuat fabel
modern yang bagus atas pengalaman tentang penggusuran. Thukul
mendirikan dan mengajar di Sanggar Suka Banjir di kampungnya.
Bersama-sama dengan orang-orang yang peduli pada rakyat, i a juga
mendirikian Sanggar Lukis di Sragen. Buku-bukunya yang terbit sebagai
kumpulan tunggal; Mencari Tanah Lapang; Darman dan Puisi Pelo.
Sedangkan kumpulan puisi bersama, banyak sekali: termasuk yang
diterbitkan Kedubes Jerman.
***********************************************************************
Sebagai penyair maupun aktivis, Anda tidak jarang kena cekal,
diintimidasi bahkan kena gebuk. Bagaimana pengalaman Anda?
* Sebenarnya masalah cekal-mencekal, pelarangan, pembubaran bahkan
intimidasi -- baik terselubung maupun terang-terangan -- adalah
masalah kita bersama. Peristiwa semacam itu setiap hari ada di depan
kita, di kota mana pun ada. Bahkan ada yang lebih dari itu, seperti
dibunuhnya petani atau rakyat kecil diberbagai tempat: Nipah (Madura),
Haur Koneng, Timika, Timtim dan masih banyak lagi. Ini semua adalah
masalah sekaligus pengalaman kolektif kita. Penganiayaan-penganiayaan
itu adalah masalah dan pengalaman t raumatis kita bersama, terutama
masalah rakyat kecil.
* Penganiayaan itu bentuknya macam-macam. Ada bentuk penganiayaan justru
melalui teman-teman sendiri. Teman saya seorang pelukis instalasi
pernah omong tentang itu. Banyak seniman lukis yang tidak berani
melukis realis bukan karena ditakut-takuti tentara atau polisi secara
langsung, tetapi melalui teman-temannya sendiri. Kenapa ditakut-takuti
temannya sendiri? Karena temannya ini mendapat ketakutan dari temannya
yang pernah ditakut-takuti oleh aparat atau mereka yang punya
kekuasaan.
Ini gejala apa?
* Inilah salah satu bentuk penindasan yang paling berbahaya. Sebab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar